Info Terbaru 2022

Contoh Resensi Film Mengejar Matahari

Contoh Resensi Film Mengejar Matahari
Contoh Resensi Film Mengejar Matahari
Contoh resensi film yang diulas pada artikel kali ini mencoba menunjukkan hasil Resensi Film "Mengejar matahari" biar sanggup menunjukkan sebuah pandangan gres perihal kehidupan kita dan menunjukkan sedikit motifasi dalam meraih sebuah cita-cita. simaksaja dibawah ini, selamat menik mati hasil resensi sebagai berikut"

 yang diulas pada artikel kali ini mencoba menunjukkan hasil Resensi Film  Contoh Resensi Film Mengejar Matahari

Contoh Resensi Film "Mengejar Matahari"

Berikut contoh resensi film mengejar matahari :

Hidup bagi saya yaitu seleksi. Ada kelulusan dan kegagalan. Senang jikalau lulus, dan terus melanjutkan kehidupan ke tingkat seleksi yang lebih tinggi lagi. Kecewa, menyesal, atau frustasi bila mengalami kegagalan. Tetapi kehidupan itu sendiri terus berlanjut, berjalan terus tanpa berbalik lagi. Tidak juga menunggu, memberi-beri waktu pada apapun dan siapapun.

Semua berjalan membentuk bulat sebab-akibat, yang saya sebut sebagai siklus pasang-surut kehidupan. Begitu pula kehidupan keempat orang yang akrab dalam film “Mengejar Matahari” ini, mereka mengalami siklus kehidupan. Ada yang pasang, dan harus ada yang surut. Semua itu menunjukkan keseimbangan pada dunia ini.

Nino, Apin, Damar, Ardi. Mereka akrab dari kecil. Hingga semuanya beranjak dewasa, dan satu per satu mereka pergi dengan aneka macam problem yang dihadapi.

Nino, dimunculkan sebagai tokoh yang kaya, tenang, tidak mempunyai masalah, tidak neko-neko. Ia sebagai penyeimbang ketika terjadi bentrokan yang ada dalam badan persahabatan yang mereka bangun.

Apin, digambarkan sebagai tabiat pecinta seni, terutama film, lantaran ia bercita-cita sebagai sutradara. Ia yaitu orang yang banyak disukai temannya, ceria dan mencoba menengahi suasana panas yang terjadi, ibarat juga Nino. Tetapi Apin yang bertubuh kecil, ringkih, menuntut untuk dilindungi oleh ketiga sahabatnya yang lain.

Ardi, anak yang terkekang oleh aturan-aturan ayahnya, ia dicetak untuk menjadi seorang polisi, kedisiplinan menciptakan ia menuai sukses pada final cerita. Sebelum bertindak ia memikirkan dulu apa akibatnya, tidak ibarat Damar.

Damar, si Badung, gampang tersinggung, ahli berantem, emosinya suka meledak-ledak. Ia seseorang yang menciptakan saya harus flashback dan bercermin sangat dekat dengannya. Sebab masa kecil saya sangat badung, pemberontak sejati yang suka sekali tawuran, gampang meledak-ledak, apalagi jikalau mendengar ada orang yang ngomongin bapak dan ibu saya, lantaran saya menganggap itu tidak perlu. Kedua orang bau tanah yaitu urusan saya sendiri, lantaran saya yang tahu dan yang mencicipi apa yang terjadi di badan keluarga saya sendiri.

Saya bisa menempatkan diri sendiri sebagai ARDI. Diatur, dikekang, dan diberlakukan hidup disiplin (terutama pada waktu dan berbicara dengan orang yang lebih tua). Dulu saya memberontak lantaran keterkekangan tersebut, tetapi sesudah melalui masa-masa Sekolah Menengah Pertama dan SMA, saya gres menginsafi bahwa kedisiplinan dan otoritas orang bau tanah demi kebaikan saya juga.

Di ketika teman-teman bermain boneka, bermain ‘pasaran’, saya harus tetap berada di rumah—menjalani perawatan intensif di rumah lantaran sedang sakit, memikirkan apa-apa yang akan saya lakukan ke depannya, merintis tabungan rupiah demi rupiah (sebab dulu saya sangat menginginkan sekolah di kedokteran).

Masa Sekolah Menengah Pertama saya habiskan untuk sekolah, tawuran, menentang hukum sekolah, membantu perjuangan orang bau tanah yang gres saja dirintis, dan mencari Tuhan sampai akhirnya menetapkan pilihan di Islam. Semua warna hidup tampaknya tertuang di ketika ini. Saya sudah tidak ada waktu untuk berurusan dengan yang namanya pacaran sesudah Afik meninggal.

Saat Sekolah Menengan Atas saya sudah terlarutkan oleh yang namanya kedisiplinan (sekolah saya bersistem semi militer), menciptakan goresan pena kreatif (yang kini sudah tidak ada lagi lantaran ikut terbawa banjir), buku-buku pelajaran yang semakin hari semakin mahal, oleh remidi-remidi pelajaran eksakta.
Belum lagi rutinitas mading (majalah dinding) di perpustakaan, dan perjalanan Juwana-Surabaya-Madura di final pekan (untuk bertemu pelanggan usahanya bapak), dan mengejar ketertinggalan pelajaran dari anak IPA (karena dulu saya dianggap kolot oleh anak IPA, maka saya membuktikannya di IPS dan ternyata saya tidak begitu bodoh—bahkan terbilang mampu, itu pun ucapan dari guru-guru saya, terutama guru Ketatanegaraan, Sosiologi-Antropologi, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan saya). Saya bisa menerangkan eksistensi saya dengan pentas dan keradikalan saya berpendapat.

Hingga akhirnya dengan sangat gampang saya diterima di universitas negeri jalur SPMP atau PMDK di jurusan yang dari dulu, dari SD, sudah ada dalam benak saya: Sastra Indonesia!
Saya gres menyadari: inilah buah kedisiplinan yang mengekang, kesakitan dan kemarginalan yang kemarin saya rasakan. Indah sekali. Tidak sanggup dibayangkan. Saya ibarat lulus seleksi dari mereka-mereka yang dulu ‘sok’ dan ‘menyingkirkan’ saya. Kini saya sanggup melihat, dari angkatan saya yang bisa mengenyam pendidikan dan pengetahuan lebih tinggi hanya beberapa saja. Mungkin saya ada di dalamnya.

Bukannya sombong, tetapi inilah yang sebetulnya terjadi. Tetapi flashback ibarat ini saya gres sadar bahwa ternyata saya sendirian. Saya sangat ‘menyendiri’ menjadi orang, terkesan egois mungkin. Hingga kini, tidak ada ‘sahabat’ dalam kamus kehidupan saya. Teman atau sobat dekat memang tak terhitung, tetapi yang namanya sahabat tidak ada sama sekali sesudah kepergian Afik untuk selama-lamanya.

Bercermin dari film “Mengejar Matahari”, saya yaitu huruf keempat sahabat tersebut. Sifat-sifat mereka ‘mix’, tercampur dalam diri saya. Tetapi kesuksesan yang Ardi raih menciptakan saya kompromi dengan karakternya. Seseorang yang akhirnya bisa sukses sesudah melalui kesakitan sebagai pesakitan. Ardi bisa hidup sesudah kematian Apin, sahabatnya yang paling dekat dengannya.
Begitu pula saya, saya mencoba menikmati, menjalani, dan mengisi kehidupan selanjutnya sesudah meninggalnya Afik. Kehidupan terus berlanjut, tidak sanggup lagi berbalik menoleh ke belakang. Untuk apa saya melarutkan diri dengan hal-hal yang tidak mempunyai kegunaan ibarat kesedihan, sedang saya tahu Afik juga tidak akan kembali lagi?

Film ini manis sekali ditonton oleh mereka-mereka para remaja yang keadaan psikologinya belum menentu. Agar mereka mendapat rujukan perihal kehidupan dalam pelajarannya untuk hidup.

Demikian contoh resensi film yang bisa admin bagikan biar bermanfaat.
Advertisement

Iklan Sidebar